Hari ini males banget buat berangkat
sekolah. Kenapa juga Mom dan Dad tidak mengizinkanku untuk dirumah saja. Kan
hari ini masih bebas juga, karena sekolahku sedang ada acara. Aku tau sih kalo
aku sudah enggak masuk sejak 2 hari yang lalu dan Mom mengeluarkan senjata
ampuh, yaitu, “Kalo kamu besok enggak berangkat, laptop, handphone kamu bakalan
Mom sita selama 1 minggu!” Aish, Mom tau banget kalo aku enggak bisa pisah dari
laptop dan handphone. Kalo Mom udah mengeluarkan ultimatun seperti itu, dengan
terpaksa aku harus berangkat. Dan terbukti sekarang aku sudah ada dikelas. Ku
tidurkan kepalaku dimeja kelas karena bete harus berangkat sekolah. Tiba-tiba
saja ada yang memanggilku.
“Claudia!”
Ku
angkat kepalaku dan mencari asal suara itu. Oh Dinda yang memanggilku ternyata.
Dia sahabatku sejak kelas 1 SMA dan sekarang kami sekelas kembali. Ku lihat dia
berjalan ke arah bersama Leona dan juga Dara.
“Ada
apa dengan wajahmu? Ini masih pagi loh, Clau. Udah mendung aja tuh muka,” ujar
Leona.
“Gimana
enggak mendung, semalamkan dia habis dikasih ultimatun sama tante Amanda,”
jawab Dara. Oh ya, Dara itu adalah sepupuku dan dia tinggal bersama keluargaku
sekarang. Karena kedua orangtuanya yang sedang ada tugas kerja di Singapur.
“Diem
deh ya kalian. Gue lagi enggak mood buat adu mulut sekarang” jawabku dengan
malas. Dan menidurkan kembali kepalaku ke meja. Tapi, sebelum kepalaku
menyentuh meja untuk kedua kalinya, ada yang memegak kedua pipiku dan
menegakkan kembali kepalaku.
“Eits,
sebelum lu tidur lagi. Mending ikut gue ke perpustakaan yuk. Gue mau wifi-an
nih, hehe.”
Oh
orang yang tadi mencoba menegakkan kepalaku ternyata si Dinda. Dari kami
berempat, memang si Dinda yang paling gencar untuk ke perpustakan hanya untuk
memakai wifi perpus. Dasar enggak modal dia.
“Males
ah, Din,” kujawab dengan suara yang sengaja dilemas-lemaskan.
“Gak
ada tapi-tapian. Udah ayo bangun.”
Dengan
terpaksa ku angkat badanku dan berjalan bersama ketiga temanku itu menuju
perpustakaan sekolah yang berada di lantai 1.
Ketiga
temanku dengan asyiknya bermain handphone masing-masing untuk apa. “Gue bosen
nih. Balik ke kelas yuk ah. Udah pada pulang tuh” ajakku dan hanya ditanggapin
oleh mereka dengan jawaban, “Bentar, Clau. Nanggung nih.”
Menyebalkan
sekali mereka dan akhirnya aku mengalah dulu. Sekitar 10 menit aku menunggu
mereka, akhirnya kami berempat kembali ke kelas. Tapi ditengah jalan menuju
kelas, aku melihat seseorang.
Tunggu,
itu siapa ya? Dia manis. Ku yakin itu. Walau hanya terlihat mata dan hidung
yang sedikit mancung karena tertutup oleh masker hitam yang dia kenakan dan
juga topi hitam dikepalanya. Oh my god, dia memakai hoodie “Monsta X”, dia
pasti k-pop. Dan pasti dia anak dance. Terlihat jelas dari gaya berpakaiannya
saat ini.
“Clau?
Woy, Claudia!”
Astaga,
ku lihat Dara memanggilku dengan sedikit, ah bukan, berteriak malah ke arahku.
Dan aku baru menyadari bahwa aku sedari tadi melamun karena melihat laki-laki
itu. Kalian tau, bukan hanya ketiga temanku yang berbalik melihat ke arahku, si
anak laki-laki itupun melirik ke arahku. Dengan malunya ku langkahkan laju
kakiku dengan cepat ke arah kelasku tanpa memperdulikan ketiga temanku lagi.
“Black
mask”, ku suka kau walaupun ku belum melihat siapa kau sebenarnya, hihi. Black
mask? Sementar waktu aku menamakan dia “Black mask”, karena dia mengenakan
masker hitam untuk menutupi sebagian wajahnya.
“Eh,
woy ngapain senyum-senyum gitu? Kesambet loh ntar,” ujar Leona.
“Apasih.
Gue enggak kenapa-kenapa lagi. Masih sehat 100%,” jawabku dengan ditambahkan
cengiran khas dariku.
Si
“Black mask”, kembali menguasai pikiranku. Aish, siapa dia sebenarnya? Anak
barukah atau siapa? Mengapa aku baru melihat dia ya. Entah kenapa jika ku
memikirkan wajah “Black mask”, aku tiba-tiba saja tersenyum. Aneh. Ya aku
sepertinya aneh karena si “Black mask”, haha.
“Yeah,
nih anak malah ngelamun lagi. Mana ditambah senyum-senyum enggak jelas lagi”
ujar Leona. “Apasih. Udah ah, balik yuk” ajakku.
Akhirnya
kami berempat pergi keluar kelas untuk pulang ke rumah. Kami berempat terbiasa
pulang menggunakan angkot. Ketika kami melewati pedagang es didepan sekolah,
Dinda meminta untuk mampir untuk membeli dahulu. Ketika sudah selesai membeli
es, kami berempat menyebrang untuk memotong jalan. Tapi ketika kami baru
menyebrang terdengar lagu,
“Oh
dream high... “
Dan
seketika, “Eh tunggu. Gue mau liat itu” ucapku dan Dinda yang berbarengan, tapi
tidak disengaja, sambil menunjuk ke arah aula sekolah yang sedang ada lomba
antar kelas. Aku dan Dinda memutuskan untuk kembali ke sekolah dan menuju aula,
sedangkan Dara dan Leona pulang. Aku dan Dinda memang tidak bisa diam jika
mengetahui sesuatu yang berhubungan dengan Korea, maklum kami berdua adalah
kpopers stadium akhir, haha.
Wow
didalam aula sangat ramai. Ada bapak dan ibu guru juga ternyata. Ku edarkan
pandanganku ke seluruh ruangan, disisi kanan dan kiri terdapat kerajian yang
dibuat oleh siswa-siswi SMA ku. Tapi pandanganku berhenti di satu sudut
ruangan. Itu si “Black mask.” Apakah dia akan perfom?
“Eh
Clau, duduk disana yuk. Capek nih” Dinda mengajakku untuk duduk di barisan
tengah siswa-siswi yang ada didepanku. Didepan ku sedang ada penampilan dari
kakak kelas.
“Hi,
Clau, Din.”
Hana,
teman dan Dinda, duduk disebelahku.
“Oh
hi, Han,” sapaku.
Seluruh
mata memandang ke arah depan dan menikmati setiap penampilan dari siswa-siswi
sekolah ku. Aku juga sangat menikmati dan bertepuk tangan jika ada yang sudah
selesai perfom didepan sana. Tapi beberapa kali pandanganku tidak bisa lepas
dari si “Black mask.”
Ku
lihat, dia sedang berbincang-bincang dengan temannya. Ketika ku alihkan kembali
pendanganku ke arah “Black mask”, ku lihat dia membuka beberapa kali masker
hitam yang dipakai.
Oh
my god... Oh my god... Dia manis sekali, walaupun dia tidak sedang tersenyum,
tapi menurutku ekspresi datar atau ekspresi biasa saja yang dia tunjukkan
ketika sedang berbicara dengan temannya itu sangat manis. Apakah aku mencintai
si “Black mask”? Mungkin jawabannya, yes. Cinta pada pandangan pertama? Yes.
Why not yeah.
“Manis”
gumamku.
“Hah?
Siapa yang manis, Clau?” tanya Hana. Oh ternyata dia mendengar gumamanku tadi. “Ah
bukan siapa-siapa kok Han.”
Dia
hanya membalas dengan senyuman. Hufft... Untung saja dia tidak bertanya lebih
lanjut. Ku lihat ke sebelah kiriku, Dinda sedang asyik mengobrol dengan Sara.
“Kapan
kelas gue tampil sih? Lama banget” gerut Hana, yang sepertinya sudah tidak
sabar menunggu perfom dari perwakilan kelasnya.
“Siapa
yang tampil, Han?” tanyaku. Karena aku penasaran juga dengan apa yang akan ditampilkan
oleh kelasnya Hana.
“Daffa.
Dia bakalan tampil ngedance katanya” jawab Hana dengan singkat. Daffa? Dia
seperti apa ya? Aku sepertinya pernah mendengar namanya, tapi lupa seperti apa
wajahnya.
“Daffa?
Yang mana anaknya, Han?” tanyaku kembali. Aku melihat ke arah seseorang yang
Hana tunjuk. Hah? Itu Daffa? Si “Black mask”? Jadi dia, Daffa, teman sekelasnya
Hana?
“Itu
tuh yang pake topi hitam, masker hitam, dan yang lagi gendong tas hitam.”
Masuk
telinga kanan, keluar telinga kiri. Ya, perkataan Hana yang aku tangkap oleh
indar pendengaranku memang masuk telingan kanan, keluar telinga kiri. Fokusku
sekarang masih tertuju ke arah si “Black mask”, atau yang baru ku ketahui
namanya adalah Daffa.
“Dia
bakalan tampil ngedance bareng dua temennya. Kasihan deh gue sama Daffa” ucap
Hana.
“Why?”
tanyaku penasaran.
“Itu
loh udah sebulan ini dia ngelatih dua temennya buat tampil hari ini. Diakan
basicnya emang udah dance, nah kedua temennya itu enggak selancar Daffa kalo
ngedance. Jadi dia ngelatih dua temennya terus deh. Kata gue sih ya, kalo dua
anak itu enggak sanggup tampil, mending Daffa aja yang tampil” jelas Hana.
“Gue lebih ikhlas,
Daffa perfomnya solo dance deh” ucapku dalam hati.
Ku
lihat Daffa, tidak bisa diam, dia kesana kemari untuk latihan. Ketika dia
melepaskan topinya saat akan perfom, aku keceplosan berkata, “Kamu lebih manis
pakai topi, sayang.” Dinda mendengar perkataaku tadi.
“Apa
Clau? Siapa yang manis?” tanyanya.
“Ah,
enggak kok, Din. Enggak papa.”
Daffa
maju ke tempatnya untuk perfom. Dia bersiap-siap dan lagu dari salah satu
boyband Korea diputar.
“Oh
my god, gue ngeliat dia kaya Mark versi Indonesia, haha” kataku dan ditanggapi
oleh Dinda, “Anjir, kece bangetlah dia.”
Aku
berkata dalam hati, “Yaiyalah dia kece.
Basic dia dance. Gebetan gue tuh.”
Lagu
kedua diputar, masih dengan lagu salah satu boyband Korea.
“Rhythm
Ta, anjir. Eh, dia bagi gue kaya B.I, haha” komentarku lagi ketika Daffa
membawa dance dengan lagu tersebut dan kedua temannya masuk dan bergabung untuk
perfom. Setelah lagu kedua selesai dan kedua temannya keluar dari tempat
perfom, ku lihat dia melepas hoodienya. Oh ternyata masih lanjut dengan lagu
ketiga. Ah, dia cute.
Setelah
dia dan kedua temannya selesai tampil, aku berbicara, “Wow, tiga lagu Korea
yang dia bawain, lagu dari boyband favorit semua. Dari tadi NCT-127, terus
iKON, dan terakhir NCT Dream.” Kami semua menikmati perfom dari si “Black mask”
itu.
Ketika
aku, Hana, Dinda, dan Sara keluar dari ruang aula untuk pulang. Ku lihat dari
arah samping aula, Daffa sedang berjalan dengan temannya. Seketika aku dan teman-temanku
pura-pura terbatuk.
“Uhukkk...
Uhukkk... Gue keselek anjir, haha” ucap Sara. Akupun mengikuti Sara, “Uhukkk...
Uhukkk... Eaaa gue keselek, haha.”
Kami
berempat hanya tertawa. Ku lihat Daffa sempat melirik ke arahku dan
teman-temanku. Dia melirikku? Oh my god... Sejak saat itu aku jadi sering
memperhatikan Daffa dari depan kelasku, karena kebetulan sekali kelasku dan
kelasnya berada dilantai yang sama. Semakin hari aku menyukainya. Aku sempat
beberapa kali berpapasan dengannya dan ketika itu kami saling membalas senyum.
*****
Selain
sekolah, kegiatan lain yang ku ikutin diluar sekolah adalah dance. Aku memang
suka sekali dengan dance, karena kakakku adalah seorang guru dance. Seminggu
aku biasanya latihan 3 kali, hari Jumat-Minggu. Hari ini adalah Sabtu, artinya
aku ada kelas dance nanti jam 3.00 sore.
Sekarang
jam di kamarku menunjukkan pukul 2.00 siang, sebaiknya aku menyiapkan apa yang
akan aku bawa ke tempat latihan. Hanya butuh waktu 30 menit bagiku untuk
menyiapkan semuanya serta aku menganti bajuku. Aku turun ke bawah dan mencari
Mom untuk berpamitan, tapi nihil. Yang ku lihat hanya bi Asri, ku dekatin bi
Asri yang sedang mencuci piring di dapur.
“Bi,
nanti bilangin Mom ya, aku berangkat dulu?” ucapku. Sepertinya bi Asri sedikit
terkejut, karena ku lihat piring yang dipegang olehnya hampir jatuh.
“Kemana
non?” tanyanya.
“Latihan
dance, bi. Aku pergi dulu ya” pamitku pada bi Asri.
“Baik
non. Hati-hati” jawabnya. “Siap, bi.”
Hari
ini seperinya membutuhkan waktu 1 jam bagiku untuk sampai ke tempat latihan.
Karena jalanan yang ku lalui, entah kenapa hari ini sedang padat-padatnya.
Ketika
aku sudah sampai di tempat latihan, di parkiran depan aku seperti melihat
seseorang yang ku kenal sedang memarkirkan sepeda motornya. Siapa dia? Ah, bodo
amatlah.
Akhirnya
aku berjalan memasuki gedung itu dan menuju lantai 3, tempat biasa yang aku dan
beberapa teman danceku gunakan untuk latihan bersama kak Alena atau kak Alex. Just
information, tempat danceku ini adalah yang dibangun kakakku bersama beberapa
temannya loh. Keren kan?
5
menit setelah aku masuk, terdengar pintu ruangan terbuka. Semua mata memandang
ke arah pintu. Seketika aku shock. Yang masuk tadi memang ka Alex, tapi yang
membuat aku shock, aku melihat seseorang yang berada di belakang ka Alex. Dia
kok disini? Setelah aku sedikit rileks. Aku dan semua murid yang ada diruangan
ini, termasuk dia, mengikuti gerakan yang di berikan oleh ka Alex. Setelah
sekitar 45 menit latihan, kami semua istirahat.
Ketika
aku sedang mengipas-mengipaskan wajahku karena gerah dan keringat yang terus
bercucur di pelipisku, ada sebuah botol air mineral dingin di depan wajahku. Ku
lihat siapa yang memberikannya.
“Daffa?”
ucapku, mungkin lebih terdengar seperti gumaman.
“Hi,
Clau. Nih buat lu,” tawarnya.
Ku
ambil botol air mineral itu. Dia duduk di depanku dengan kaki yang
diselonjorkan ke depan dan meminum air yang dia pegang dengan tangan kirinya
tadi.
“Makasih,
Daf.” Sangat susah rasanya hanya untuk mengatakan kalimat sesingkat itu.
“Sejak
kapan latihan disini, Clau?” tanyanya.
“Sejak
SMP,” jawabku singkat.
“SMP?
Kok gue baru lihat lu hari ini ya?” tanyanya lagi.
Oh
my god, dia memasang ekspresi sedikit keheranan dan itu bagiku cute. “Gue baru
masuk kelasnya ka Alex beberapa hari ini. Sebelumnya gue diajarin sama kakak
gue, ka Beni, di lantai 2. Cuma berhubung gue udah bosen sama dia, gue minta
pindah kelas. Ya udah, jadilah gue dimasukin ke kelasnya ka Alex. But the way,
gue juga baru liat lu hari ini, Daf.”
“Oh
gitu toh. Iya nih, gue baru masuk lagi. Soalnya kemarin gue sibuk ngelatih
temen buat tampil diacara sekolah kemarin,” ujarnya dengan senyuman. Oh please,
kamu kaya gitu bikin aku sesak nafas, Daf.
“Perfom
lu kemarin keren Daf,” tuturku setelah beberapa saat terjadi kediaman di antara
kami.
“Ah,
biasa ajalah, Clau. Skill dance lu jauh lebih oke. Serius deh,” jawabnya.
“Tau
dari mana lu?” tanyaku penasaran.
“Tau
dari ka Alex. Beberapa kali kami semua di tampilin video dari kakak pelatih dan
murid-murid yang udah sukses jadi dancer. Dan gue ngeliat lu di video itu.”
Ucapan Daffa tadi seolah menyihir seluruh perhatianku selama beberapa saat.
“Bisa
aja lu. Gue juga masih belajar kok sampai sekarang, hehe.”
Setelah
waktu istirahat selesai. Ka Alex menyuruhku maju dan aku disuruh menampilkan
sedikit ke ahlian danceku di depan semua teman-teman, dan otomatis di depan
Daffa juga. Kata ka Alex dari semua murid di kelasnya, yang sudah sangat baik
skill dancenya itu aku dan Daffa. Saat aku sudah menampilkan sedikit ke
ahlianku, ka Alex menyuruh aku untuk melawan Daffa, battel dance gitu
ceritanya.
Aku
gugup.
Aku
mencoba menenangkan diriku dan berhasil.
Semua
teman-teman dan ka Alex memberikan tepukan tangan untuk kami berdua. Sejak saat
itu aku dan Daffa dekat. Bukan hanya di tempat latihan dance, tapi juga di
sekolah. Teman-temanku heran ketika melihat aku dan Daffa semakin akrab saja.
Ketika
ada acara di sekolah dan ada lomba antar kelas, Daffa menampilkan ke ahlian
dancenya untuk mewakili kelasnya. Begitupun dengan kelasku, seluruh teman-teman
kelas menyuruhku untuk menampilkan bakat danceku saja. Mau tak mau aku
menyetujui.
Pernah
di satu kesempatan acara sekolah, seluruh teman-teman meminta aku dan Daffa
untuk kolaborasi dance. Reflek aku shock, karena aku dan dia tidak menyiapkan
gerakkan apapun.
Semakin
lama teriakkan teman-teman satu sekolah yang meneriakkanku dan Daffa semakin
kencang saja. Aku melihat Daffa di dorong teman-teman kelasnya untuk maju,
begitupun denganku.
Sempat
berdiskusi sedikit antara aku dan Daffa untuk menentukan lagu apa yang akan
menjadi background dance kami. Karena kami melakukannya secara spontanitas,
kami membuat gerakan dari salah satu lagu Korea. Kami berhasil dan di akhiri
dengan gerakan Daffa sedikit memelukku.
Dia
membisikkan, “Saranghae, Claudia.”
Aku
mematung untuk beberapa saat. Setelah dia mengatakan itu, dia melihat ke arahku
dengan senyuman manisnya. Kami memberikan hormat kepada semua orang yang ada di
tempat tersebut. Shock. Hanya itu yang aku rasakan.
Sejak
kejadian tersebut, aku jadi memikirkan perkataan Daffa. Apakah dia serius?
Entahlah. Daffa juga seperti menggantungkan ku. Dia tidak pernah membicarakan
tentang apa yang telah dia ucapkan saat perfom waktu itu. Akupun tidak ambil
pusing. Tapi aku penasaran di buatnya.
Sekarang
aku sedang berada di kantin tempat latihan dance. Tiba-tiba ada yang menepuk
bahu, reflek aku melihat ke arah orang yang menepukku tadi. “Nih, Clau, ada
surat buat lu” kata Marsa, salah satu temanku disini.
”Dari?”
tanyaku sambil membolak-balikkan surat itu, karena dari apa yang ku lihat tidak ada nama pengirimnya.
“Dari
itu cowok yang lagi duduk sama ka Alex. Udah ya, gue pergi dulu” pamit Marsa.
“Oke.
Makasih, Sa.”
Setelah
menggucapkan itu, ku arahkan pandanganku ke meja dimana ada ka Alex dan
teman-teman. Disana ada Daffa juga. Bodo amatlah ya. Ku buka surat yang
diberikan Marsa tadi.
“Hi, Claudia.
Kau tau siapa aku?
Pasti kau tidak tau kan? Haha...”
Aku
tersenyum melihat kalimat awal dari surat itu.
“Oke perkenalkan, aku
adalah seseorang yang belakangan ini merasakan getaran-getaran aneh dalam
dadaku. Aku pikir getaran itu berasal dari rasa capekku selepas latihan,
ternyata bukan. Ketika aku bersamamu, aku merasakkan getaran itu juga. Jadi aku
ingin mengatakan sesuatu untukmu...”
Aku
berhenti sejenak untuk membaca surat itu. Aku mulai berfikir, siapakah dia?
“Aku menyukaimu,
Claudia. Apa yang aku ucapkan waktu itu, aku tidak berbohong. Kau pasti
bertanya mengapa aku mencintaimu. Tapi berhentilah untuk memikirkan hal itu,
karena kau cukup percaya dan tidak usah khawatir padaku. Karena saat ini aku
sudah yakin 100% bahwa aku mencintaimu. Jadi....”
Aku
tidak menemukkan kelanjutan dari surat itu. Namun, tiba-tiba saja saat aku
mengangkat kepalaku dari hadapan kertas yang ku pegang, aku melihat sebuah
topi. Dan terdengar suara seseorang yang aku kenal mengatakan, “Jadi, maukah
kau menjadi pacarku?”
Tanpa
pikir panjang aku menoleh ke belakan. Aku melihat Daffa berdiri di depanku
sambil memegang topi yang ada di hadapanku tadi, aku bangkit dari tempat
dudukku.
“Daffa?”
Hanya
itu yang aku mampu aku ucapkan karena saking shocknya mungkin.
“Jadi
gimana jawabnya dari pertanyaanku tadi?” tanyanya. Jujur aku maih shock.
“Ini...
Surat ini dari kamu?” tanyaku sambil menunjukkan surat yang ku pegang pada
Daffa.
“Yes,
the latter from me. Claudia, how the answer of my question?” tanyanya lagi.
“Yes,
I want to. I want to be your girlfriend, Daffa” jawabku.
Inilah
pertanyaan yang ku tunggu dari dia. Karena selama ini, rasa sukaku pada Daffa
tidak pernah hilang, bahkan semakin amat dalam aku menyukainya, ah tidak,
mencintai lebih tepatnya. Ku lihat dia membalas jawabanku tadi dengan senyuman
dan memasangkan topi yang di pegang tadi ke kepalaku.
“Thank
you, Clau.”
Dia
membisikkan kalimat itu di telingaku sambil memelukku. Akupun membalas
pelukkannya. Ku dengar suara tepuk tangan dari balik punggung Daffa. Ah disana
ada kakakku, ka Alex, dan beberapa kakak pelatih danceku juga.
“Daf,
jangan lupa pajak jadiannya ya, haha.”
Ku
dengar kak Alex berteriak meminta pajak jadian. Daffa hanya membalas dengan acungan
jempol dan ikut tertawa.
“Gue
malu, Daffa.”
Ku
yakin sekarang wajahku merah seperti tomat karena malu. Daffa menoleh ke
arahku, “Kenapa malu? Kamu kan pacar aku sekarang, haha.”
Dia
kembali tertawa dan memelukku lagi. Akupun ikut tertawa bersamanya dan semua
orang yang berada di kantin.
Sepertinya
aku harus mengucapkan terima kasih kepada Dinda, Dara dan Leona. Karena berkat
mereka yang mengajakku ke perpus, aku bisa bertemu si “Black mask” alias Daffa
ketika akan kembali ke kelas, haha.
Dear Black mask yang
sekarang ku ketahui namamu adalah Daffa,
Saranghae...
*****
Libra ^_^
Tidak ada komentar:
Posting Komentar