expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>

Jumat, 24 Maret 2017

Black Mask~

          Hari ini males banget buat berangkat sekolah. Kenapa juga Mom dan Dad tidak mengizinkanku untuk dirumah saja. Kan hari ini masih bebas juga, karena sekolahku sedang ada acara. Aku tau sih kalo aku sudah enggak masuk sejak 2 hari yang lalu dan Mom mengeluarkan senjata ampuh, yaitu, “Kalo kamu besok enggak berangkat, laptop, handphone kamu bakalan Mom sita selama 1 minggu!” Aish, Mom tau banget kalo aku enggak bisa pisah dari laptop dan handphone. Kalo Mom udah mengeluarkan ultimatun seperti itu, dengan terpaksa aku harus berangkat. Dan terbukti sekarang aku sudah ada dikelas. Ku tidurkan kepalaku dimeja kelas karena bete harus berangkat sekolah. Tiba-tiba saja ada yang memanggilku.
          “Claudia!”
Ku angkat kepalaku dan mencari asal suara itu. Oh Dinda yang memanggilku ternyata. Dia sahabatku sejak kelas 1 SMA dan sekarang kami sekelas kembali. Ku lihat dia berjalan ke arah bersama Leona dan juga Dara.
“Ada apa dengan wajahmu? Ini masih pagi loh, Clau. Udah mendung aja tuh muka,” ujar Leona.
“Gimana enggak mendung, semalamkan dia habis dikasih ultimatun sama tante Amanda,” jawab Dara. Oh ya, Dara itu adalah sepupuku dan dia tinggal bersama keluargaku sekarang. Karena kedua orangtuanya yang sedang ada tugas kerja di Singapur.
“Diem deh ya kalian. Gue lagi enggak mood buat adu mulut sekarang” jawabku dengan malas. Dan menidurkan kembali kepalaku ke meja. Tapi, sebelum kepalaku menyentuh meja untuk kedua kalinya, ada yang memegak kedua pipiku dan menegakkan kembali kepalaku.
“Eits, sebelum lu tidur lagi. Mending ikut gue ke perpustakaan yuk. Gue mau wifi-an nih, hehe.”
Oh orang yang tadi mencoba menegakkan kepalaku ternyata si Dinda. Dari kami berempat, memang si Dinda yang paling gencar untuk ke perpustakan hanya untuk memakai wifi perpus. Dasar enggak modal dia.
“Males ah, Din,” kujawab dengan suara yang sengaja dilemas-lemaskan.
“Gak ada tapi-tapian. Udah ayo bangun.”
Dengan terpaksa ku angkat badanku dan berjalan bersama ketiga temanku itu menuju perpustakaan sekolah yang berada di lantai 1.
Ketiga temanku dengan asyiknya bermain handphone masing-masing untuk apa. “Gue bosen nih. Balik ke kelas yuk ah. Udah pada pulang tuh” ajakku dan hanya ditanggapin oleh mereka dengan jawaban, “Bentar, Clau. Nanggung nih.”
Menyebalkan sekali mereka dan akhirnya aku mengalah dulu. Sekitar 10 menit aku menunggu mereka, akhirnya kami berempat kembali ke kelas. Tapi ditengah jalan menuju kelas, aku melihat seseorang.
Tunggu, itu siapa ya? Dia manis. Ku yakin itu. Walau hanya terlihat mata dan hidung yang sedikit mancung karena tertutup oleh masker hitam yang dia kenakan dan juga topi hitam dikepalanya. Oh my god, dia memakai hoodie “Monsta X”, dia pasti k-pop. Dan pasti dia anak dance. Terlihat jelas dari gaya berpakaiannya saat ini.
“Clau? Woy, Claudia!”
Astaga, ku lihat Dara memanggilku dengan sedikit, ah bukan, berteriak malah ke arahku. Dan aku baru menyadari bahwa aku sedari tadi melamun karena melihat laki-laki itu. Kalian tau, bukan hanya ketiga temanku yang berbalik melihat ke arahku, si anak laki-laki itupun melirik ke arahku. Dengan malunya ku langkahkan laju kakiku dengan cepat ke arah kelasku tanpa memperdulikan ketiga temanku lagi.
“Black mask”, ku suka kau walaupun ku belum melihat siapa kau sebenarnya, hihi. Black mask? Sementar waktu aku menamakan dia “Black mask”, karena dia mengenakan masker hitam untuk menutupi sebagian wajahnya.
“Eh, woy ngapain senyum-senyum gitu? Kesambet loh ntar,” ujar Leona.
“Apasih. Gue enggak kenapa-kenapa lagi. Masih sehat 100%,” jawabku dengan ditambahkan cengiran khas dariku.
Si “Black mask”, kembali menguasai pikiranku. Aish, siapa dia sebenarnya? Anak barukah atau siapa? Mengapa aku baru melihat dia ya. Entah kenapa jika ku memikirkan wajah “Black mask”, aku tiba-tiba saja tersenyum. Aneh. Ya aku sepertinya aneh karena si “Black mask”, haha.
“Yeah, nih anak malah ngelamun lagi. Mana ditambah senyum-senyum enggak jelas lagi” ujar Leona. “Apasih. Udah ah, balik yuk” ajakku.
Akhirnya kami berempat pergi keluar kelas untuk pulang ke rumah. Kami berempat terbiasa pulang menggunakan angkot. Ketika kami melewati pedagang es didepan sekolah, Dinda meminta untuk mampir untuk membeli dahulu. Ketika sudah selesai membeli es, kami berempat menyebrang untuk memotong jalan. Tapi ketika kami baru menyebrang terdengar lagu,
“Oh dream high... “
Dan seketika, “Eh tunggu. Gue mau liat itu” ucapku dan Dinda yang berbarengan, tapi tidak disengaja, sambil menunjuk ke arah aula sekolah yang sedang ada lomba antar kelas. Aku dan Dinda memutuskan untuk kembali ke sekolah dan menuju aula, sedangkan Dara dan Leona pulang. Aku dan Dinda memang tidak bisa diam jika mengetahui sesuatu yang berhubungan dengan Korea, maklum kami berdua adalah kpopers stadium akhir, haha.
Wow didalam aula sangat ramai. Ada bapak dan ibu guru juga ternyata. Ku edarkan pandanganku ke seluruh ruangan, disisi kanan dan kiri terdapat kerajian yang dibuat oleh siswa-siswi SMA ku. Tapi pandanganku berhenti di satu sudut ruangan. Itu si “Black mask.” Apakah dia akan perfom?
“Eh Clau, duduk disana yuk. Capek nih” Dinda mengajakku untuk duduk di barisan tengah siswa-siswi yang ada didepanku. Didepan ku sedang ada penampilan dari kakak kelas.
“Hi, Clau, Din.”
Hana, teman dan Dinda, duduk disebelahku.
“Oh hi, Han,” sapaku.
Seluruh mata memandang ke arah depan dan menikmati setiap penampilan dari siswa-siswi sekolah ku. Aku juga sangat menikmati dan bertepuk tangan jika ada yang sudah selesai perfom didepan sana. Tapi beberapa kali pandanganku tidak bisa lepas dari si “Black mask.”
Ku lihat, dia sedang berbincang-bincang dengan temannya. Ketika ku alihkan kembali pendanganku ke arah “Black mask”, ku lihat dia membuka beberapa kali masker hitam yang dipakai.
Oh my god... Oh my god... Dia manis sekali, walaupun dia tidak sedang tersenyum, tapi menurutku ekspresi datar atau ekspresi biasa saja yang dia tunjukkan ketika sedang berbicara dengan temannya itu sangat manis. Apakah aku mencintai si “Black mask”? Mungkin jawabannya, yes. Cinta pada pandangan pertama? Yes. Why not yeah.
“Manis” gumamku.
“Hah? Siapa yang manis, Clau?” tanya Hana. Oh ternyata dia mendengar gumamanku tadi. “Ah bukan siapa-siapa kok Han.”
Dia hanya membalas dengan senyuman. Hufft... Untung saja dia tidak bertanya lebih lanjut. Ku lihat ke sebelah kiriku, Dinda sedang asyik mengobrol dengan Sara.
“Kapan kelas gue tampil sih? Lama banget” gerut Hana, yang sepertinya sudah tidak sabar menunggu perfom dari perwakilan kelasnya.
“Siapa yang tampil, Han?” tanyaku. Karena aku penasaran juga dengan apa yang akan ditampilkan oleh kelasnya Hana.
“Daffa. Dia bakalan tampil ngedance katanya” jawab Hana dengan singkat. Daffa? Dia seperti apa ya? Aku sepertinya pernah mendengar namanya, tapi lupa seperti apa wajahnya.
“Daffa? Yang mana anaknya, Han?” tanyaku kembali. Aku melihat ke arah seseorang yang Hana tunjuk. Hah? Itu Daffa? Si “Black mask”? Jadi dia, Daffa, teman sekelasnya Hana?
“Itu tuh yang pake topi hitam, masker hitam, dan yang lagi gendong tas hitam.”
Masuk telinga kanan, keluar telinga kiri. Ya, perkataan Hana yang aku tangkap oleh indar pendengaranku memang masuk telingan kanan, keluar telinga kiri. Fokusku sekarang masih tertuju ke arah si “Black mask”, atau yang baru ku ketahui namanya adalah Daffa.
“Dia bakalan tampil ngedance bareng dua temennya. Kasihan deh gue sama Daffa” ucap Hana.
“Why?” tanyaku penasaran.
“Itu loh udah sebulan ini dia ngelatih dua temennya buat tampil hari ini. Diakan basicnya emang udah dance, nah kedua temennya itu enggak selancar Daffa kalo ngedance. Jadi dia ngelatih dua temennya terus deh. Kata gue sih ya, kalo dua anak itu enggak sanggup tampil, mending Daffa aja yang tampil” jelas Hana.
“Gue lebih ikhlas, Daffa perfomnya solo dance deh”  ucapku dalam hati.
Ku lihat Daffa, tidak bisa diam, dia kesana kemari untuk latihan. Ketika dia melepaskan topinya saat akan perfom, aku keceplosan berkata, “Kamu lebih manis pakai topi, sayang.” Dinda mendengar perkataaku tadi.
“Apa Clau? Siapa yang manis?” tanyanya.
“Ah, enggak kok, Din. Enggak papa.”
Daffa maju ke tempatnya untuk perfom. Dia bersiap-siap dan lagu dari salah satu boyband Korea diputar.
“Oh my god, gue ngeliat dia kaya Mark versi Indonesia, haha” kataku dan ditanggapi oleh Dinda, “Anjir, kece bangetlah dia.”
Aku berkata dalam hati, “Yaiyalah dia kece. Basic dia dance. Gebetan gue tuh.”
Lagu kedua diputar, masih dengan lagu salah satu boyband Korea.
“Rhythm Ta, anjir. Eh, dia bagi gue kaya B.I, haha” komentarku lagi ketika Daffa membawa dance dengan lagu tersebut dan kedua temannya masuk dan bergabung untuk perfom. Setelah lagu kedua selesai dan kedua temannya keluar dari tempat perfom, ku lihat dia melepas hoodienya. Oh ternyata masih lanjut dengan lagu ketiga. Ah, dia cute.
Setelah dia dan kedua temannya selesai tampil, aku berbicara, “Wow, tiga lagu Korea yang dia bawain, lagu dari boyband favorit semua. Dari tadi NCT-127, terus iKON, dan terakhir NCT Dream.” Kami semua menikmati perfom dari si “Black mask” itu.
Ketika aku, Hana, Dinda, dan Sara keluar dari ruang aula untuk pulang. Ku lihat dari arah samping aula, Daffa sedang berjalan dengan temannya. Seketika aku dan teman-temanku pura-pura terbatuk.
“Uhukkk... Uhukkk... Gue keselek anjir, haha” ucap Sara. Akupun mengikuti Sara, “Uhukkk... Uhukkk... Eaaa gue keselek, haha.”
Kami berempat hanya tertawa. Ku lihat Daffa sempat melirik ke arahku dan teman-temanku. Dia melirikku? Oh my god... Sejak saat itu aku jadi sering memperhatikan Daffa dari depan kelasku, karena kebetulan sekali kelasku dan kelasnya berada dilantai yang sama. Semakin hari aku menyukainya. Aku sempat beberapa kali berpapasan dengannya dan ketika itu kami saling membalas senyum.
*****
Selain sekolah, kegiatan lain yang ku ikutin diluar sekolah adalah dance. Aku memang suka sekali dengan dance, karena kakakku adalah seorang guru dance. Seminggu aku biasanya latihan 3 kali, hari Jumat-Minggu. Hari ini adalah Sabtu, artinya aku ada kelas dance nanti jam 3.00 sore.
Sekarang jam di kamarku menunjukkan pukul 2.00 siang, sebaiknya aku menyiapkan apa yang akan aku bawa ke tempat latihan. Hanya butuh waktu 30 menit bagiku untuk menyiapkan semuanya serta aku menganti bajuku. Aku turun ke bawah dan mencari Mom untuk berpamitan, tapi nihil. Yang ku lihat hanya bi Asri, ku dekatin bi Asri yang sedang mencuci piring di dapur.
“Bi, nanti bilangin Mom ya, aku berangkat dulu?” ucapku. Sepertinya bi Asri sedikit terkejut, karena ku lihat piring yang dipegang olehnya hampir jatuh.
“Kemana non?” tanyanya.
“Latihan dance, bi. Aku pergi dulu ya” pamitku pada bi Asri.
“Baik non. Hati-hati” jawabnya. “Siap, bi.”
Hari ini seperinya membutuhkan waktu 1 jam bagiku untuk sampai ke tempat latihan. Karena jalanan yang ku lalui, entah kenapa hari ini sedang padat-padatnya.
Ketika aku sudah sampai di tempat latihan, di parkiran depan aku seperti melihat seseorang yang ku kenal sedang memarkirkan sepeda motornya. Siapa dia? Ah, bodo amatlah.
Akhirnya aku berjalan memasuki gedung itu dan menuju lantai 3, tempat biasa yang aku dan beberapa teman danceku gunakan untuk latihan bersama kak Alena atau kak Alex. Just information, tempat danceku ini adalah yang dibangun kakakku bersama beberapa temannya loh. Keren kan?
5 menit setelah aku masuk, terdengar pintu ruangan terbuka. Semua mata memandang ke arah pintu. Seketika aku shock. Yang masuk tadi memang ka Alex, tapi yang membuat aku shock, aku melihat seseorang yang berada di belakang ka Alex. Dia kok disini? Setelah aku sedikit rileks. Aku dan semua murid yang ada diruangan ini, termasuk dia, mengikuti gerakan yang di berikan oleh ka Alex. Setelah sekitar 45 menit latihan, kami semua istirahat.
Ketika aku sedang mengipas-mengipaskan wajahku karena gerah dan keringat yang terus bercucur di pelipisku, ada sebuah botol air mineral dingin di depan wajahku. Ku lihat siapa yang memberikannya.
“Daffa?” ucapku, mungkin lebih terdengar seperti gumaman.
“Hi, Clau. Nih buat lu,” tawarnya.
Ku ambil botol air mineral itu. Dia duduk di depanku dengan kaki yang diselonjorkan ke depan dan meminum air yang dia pegang dengan tangan kirinya tadi.
“Makasih, Daf.” Sangat susah rasanya hanya untuk mengatakan kalimat sesingkat itu.
“Sejak kapan latihan disini, Clau?” tanyanya.
“Sejak SMP,” jawabku singkat.
“SMP? Kok gue baru lihat lu hari ini ya?” tanyanya lagi.
Oh my god, dia memasang ekspresi sedikit keheranan dan itu bagiku cute. “Gue baru masuk kelasnya ka Alex beberapa hari ini. Sebelumnya gue diajarin sama kakak gue, ka Beni, di lantai 2. Cuma berhubung gue udah bosen sama dia, gue minta pindah kelas. Ya udah, jadilah gue dimasukin ke kelasnya ka Alex. But the way, gue juga baru liat lu hari ini, Daf.”
“Oh gitu toh. Iya nih, gue baru masuk lagi. Soalnya kemarin gue sibuk ngelatih temen buat tampil diacara sekolah kemarin,” ujarnya dengan senyuman. Oh please, kamu kaya gitu bikin aku sesak nafas, Daf.
“Perfom lu kemarin keren Daf,” tuturku setelah beberapa saat terjadi kediaman di antara kami.
“Ah, biasa ajalah, Clau. Skill dance lu jauh lebih oke. Serius deh,” jawabnya.
“Tau dari mana lu?” tanyaku penasaran.
“Tau dari ka Alex. Beberapa kali kami semua di tampilin video dari kakak pelatih dan murid-murid yang udah sukses jadi dancer. Dan gue ngeliat lu di video itu.” Ucapan Daffa tadi seolah menyihir seluruh perhatianku selama beberapa saat.
“Bisa aja lu. Gue juga masih belajar kok sampai sekarang, hehe.”
Setelah waktu istirahat selesai. Ka Alex menyuruhku maju dan aku disuruh menampilkan sedikit ke ahlian danceku di depan semua teman-teman, dan otomatis di depan Daffa juga. Kata ka Alex dari semua murid di kelasnya, yang sudah sangat baik skill dancenya itu aku dan Daffa. Saat aku sudah menampilkan sedikit ke ahlianku, ka Alex menyuruh aku untuk melawan Daffa, battel dance gitu ceritanya.
Aku gugup.
Aku mencoba menenangkan diriku dan berhasil.
Semua teman-teman dan ka Alex memberikan tepukan tangan untuk kami berdua. Sejak saat itu aku dan Daffa dekat. Bukan hanya di tempat latihan dance, tapi juga di sekolah. Teman-temanku heran ketika melihat aku dan Daffa semakin akrab saja.
Ketika ada acara di sekolah dan ada lomba antar kelas, Daffa menampilkan ke ahlian dancenya untuk mewakili kelasnya. Begitupun dengan kelasku, seluruh teman-teman kelas menyuruhku untuk menampilkan bakat danceku saja. Mau tak mau aku menyetujui.
Pernah di satu kesempatan acara sekolah, seluruh teman-teman meminta aku dan Daffa untuk kolaborasi dance. Reflek aku shock, karena aku dan dia tidak menyiapkan gerakkan apapun.
Semakin lama teriakkan teman-teman satu sekolah yang meneriakkanku dan Daffa semakin kencang saja. Aku melihat Daffa di dorong teman-teman kelasnya untuk maju, begitupun denganku.
Sempat berdiskusi sedikit antara aku dan Daffa untuk menentukan lagu apa yang akan menjadi background dance kami. Karena kami melakukannya secara spontanitas, kami membuat gerakan dari salah satu lagu Korea. Kami berhasil dan di akhiri dengan gerakan Daffa sedikit memelukku.
Dia membisikkan, “Saranghae, Claudia.”
Aku mematung untuk beberapa saat. Setelah dia mengatakan itu, dia melihat ke arahku dengan senyuman manisnya. Kami memberikan hormat kepada semua orang yang ada di tempat tersebut. Shock. Hanya itu yang aku rasakan.
Sejak kejadian tersebut, aku jadi memikirkan perkataan Daffa. Apakah dia serius? Entahlah. Daffa juga seperti menggantungkan ku. Dia tidak pernah membicarakan tentang apa yang telah dia ucapkan saat perfom waktu itu. Akupun tidak ambil pusing. Tapi aku penasaran di buatnya.
Sekarang aku sedang berada di kantin tempat latihan dance. Tiba-tiba ada yang menepuk bahu, reflek aku melihat ke arah orang yang menepukku tadi. “Nih, Clau, ada surat buat lu” kata Marsa, salah satu temanku disini.
”Dari?” tanyaku sambil membolak-balikkan surat itu, karena dari apa yang ku  lihat tidak ada nama pengirimnya.
“Dari itu cowok yang lagi duduk sama ka Alex. Udah ya, gue pergi dulu” pamit Marsa.
“Oke. Makasih, Sa.”
Setelah menggucapkan itu, ku arahkan pandanganku ke meja dimana ada ka Alex dan teman-teman. Disana ada Daffa juga. Bodo amatlah ya. Ku buka surat yang diberikan Marsa tadi.
“Hi, Claudia.
Kau tau siapa aku? Pasti kau tidak tau kan? Haha...”
Aku tersenyum melihat kalimat awal dari surat itu.
“Oke perkenalkan, aku adalah seseorang yang belakangan ini merasakan getaran-getaran aneh dalam dadaku. Aku pikir getaran itu berasal dari rasa capekku selepas latihan, ternyata bukan. Ketika aku bersamamu, aku merasakkan getaran itu juga. Jadi aku ingin mengatakan sesuatu untukmu...”
Aku berhenti sejenak untuk membaca surat itu. Aku mulai berfikir, siapakah dia?
“Aku menyukaimu, Claudia. Apa yang aku ucapkan waktu itu, aku tidak berbohong. Kau pasti bertanya mengapa aku mencintaimu. Tapi berhentilah untuk memikirkan hal itu, karena kau cukup percaya dan tidak usah khawatir padaku. Karena saat ini aku sudah yakin 100% bahwa aku mencintaimu. Jadi....”
Aku tidak menemukkan kelanjutan dari surat itu. Namun, tiba-tiba saja saat aku mengangkat kepalaku dari hadapan kertas yang ku pegang, aku melihat sebuah topi. Dan terdengar suara seseorang yang aku kenal mengatakan, “Jadi, maukah kau menjadi pacarku?”
Tanpa pikir panjang aku menoleh ke belakan. Aku melihat Daffa berdiri di depanku sambil memegang topi yang ada di hadapanku tadi, aku bangkit dari tempat dudukku.
“Daffa?”
Hanya itu yang aku mampu aku ucapkan karena saking shocknya mungkin.
“Jadi gimana jawabnya dari pertanyaanku tadi?” tanyanya. Jujur aku maih shock.
“Ini... Surat ini dari kamu?” tanyaku sambil menunjukkan surat yang ku pegang pada Daffa.
“Yes, the latter from me. Claudia, how the answer of my question?” tanyanya lagi.
“Yes, I want to. I want to be your girlfriend, Daffa” jawabku.
Inilah pertanyaan yang ku tunggu dari dia. Karena selama ini, rasa sukaku pada Daffa tidak pernah hilang, bahkan semakin amat dalam aku menyukainya, ah tidak, mencintai lebih tepatnya. Ku lihat dia membalas jawabanku tadi dengan senyuman dan memasangkan topi yang di pegang tadi ke kepalaku.
“Thank you, Clau.”
Dia membisikkan kalimat itu di telingaku sambil memelukku. Akupun membalas pelukkannya. Ku dengar suara tepuk tangan dari balik punggung Daffa. Ah disana ada kakakku, ka Alex, dan beberapa kakak pelatih danceku juga.
“Daf, jangan lupa pajak jadiannya ya, haha.”
Ku dengar kak Alex berteriak meminta pajak jadian. Daffa hanya membalas dengan acungan jempol dan ikut tertawa.
“Gue malu, Daffa.”
Ku yakin sekarang wajahku merah seperti tomat karena malu. Daffa menoleh ke arahku, “Kenapa malu? Kamu kan pacar aku sekarang, haha.”
Dia kembali tertawa dan memelukku lagi. Akupun ikut tertawa bersamanya dan semua orang yang berada di kantin.
Sepertinya aku harus mengucapkan terima kasih kepada Dinda, Dara dan Leona. Karena berkat mereka yang mengajakku ke perpus, aku bisa bertemu si “Black mask” alias Daffa ketika akan kembali ke kelas, haha.
Dear Black mask yang sekarang ku ketahui namamu adalah Daffa,
Saranghae...
*****
FB/Path       : Eqi Triana Putri
Twitter       : @eqii_putrii
IG               : eqi_putri94
Ask.fm         :
www.ask.fm/dheqii31

Libra ^_^

Tidak ada komentar:

Posting Komentar